Rabu, 27 Oktober 2010

Event Review: The Marketeers Dinner Seminar Bandung

Anda mungkin pernah mendengar tentang istilah Netizen, isitilah yang kini banyak ditemukan diberbagai ariikel maupun di berbagai channel social media.

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan kesempatan menjadi salah satu undangan di acara The Marketeers Dinner Seminar, di Hotel Hilton Bandung. Acara tersebut merupakan bagian dari acara yang kerap diadakan oleh The Marketeers, majalah yang bebahas berbagai info di dunia marketing yang dikelola oleh Hermawan Kartajaya, salah seorang pakar marketing dengan MarkPlus-nya.

Acara ini merupakan rangkaian dari pengenalan atas paradigma baru dari new wave marketing yang terdiri dari 3 fokus utama yaitu Youth, Women, dan Netizen. Sebelumnya saya juga pernah menghadiri acara makan siang dimana pak Hermawan mengundang berbagai praktisi serta tokoh dari berbagai bidang di kota Bandung untuk memperkenalkan paradigma ini. 

Selain itu, acara ini juga menjadi ajang pengenalan dari temuan riset yang dilakukan MarkPlus Insight tentang aspirasi dan perilaku anak muda (golongan AB) di kota besar tentang penggunaan internet mereka. 

Event kali ini dihadiri cukup banyak peserta, mulai dari mahasiswa, kalangan profesional, pebisnis, praktisi dan para komunitas online, beberapa diantaranya saya kenali seperti komunitas Batagor, serta Kaskus. 

Acara dimulai dengan makan malam, yang kemudian dilanjutkan dengen presentasi dari pak Hermawan Kertajaya tentang Netizen. Pak Hermawan kembali menjelaskan tentang Youth dan pentingnya merek ‘tua’ atau merek yang telah bertahan lebih dari beberapa generasi untuk terus mengembangkan aktivitas mereka dengan melibatkan anak muda, baik dari pengenalan behaviour-nya maupun dari pola pikir pelaksanaan strategi pemasaran dari pemilik merek.

Untuk terus menjadi relevan, merek harus melakukan proses rejuvenate, jika tidak mereka akan dilibas oleh perkembangan jaman, disanalah pola pikir ‘Youth’ diperlukan.

Setelah itu penjelasan tentang Women yang merupakan elemen yang harus diperhatikan dalam paradigma New Wave. Fokus pada pendekatan yang ‘women’ salah satunya dikarenakan, perempuan atau ibu adalah pengambilan keputusan dalam pembelian produk. Perempuan memiliki peran penting dalam memilh produk mana yang dibeli, baik bagi pria atau keluarga. 

Perempuan memutuskan pembelian produk berdasarkan kepentingan bersama (baca: keluarga), produk yang dibeli selalu dipikirkan kegunaannya untuk anggota keluarga lain, misalnya sabun mandi, perempuan akan membelikan anggota keluarganya, termasuk melihat apakah sabun itu cocok dan aman bagi anggota keluarga lain, (contoh dikembangkan oleh penulis).

Perempuan menjadi fokus penting bagi para pemasar, dikarenakan perbedaannya dalam melakukan pengambilan keputusan pembelian, misalnya dibandingkan dengan pria, yang membeli barang untuk diri sendiri. Maka, jika produk perusahaan ingin dibeli oleh konsumen, maka harus memperhatikan konsumen perempuan.

Akhirnya, pak Hermawan masuk ke pembahasan selanjutnya yaitu Netizen. Netizen menjadi penting untuk dipelajari oleh para pemasar karena mereka berbicara dengan hati, jika citizen berbicara dengan mind, maka para netizen akan berbicara, tweeting, facebooking dengan menggunakan hati mereka, apa yang mereka suka akan mereka sebarkan ke follower mereka, dituliskan di blog dan dituliskan pada kolom updates status mereka di Facebook. 

Banyak sekali bahasan tentang Netizen pada The Marketeers Dinner Seminar kali ini, saya juga berencananya akan menulis beberapa blog post tentang tema ini, pada tulisan kali ini saya hanya akan membahas beberapa poin penting, dan beberapa diantaranya bisa dilihat ada foto.

Selain berbicara dengan hati Netizen menjadi penting karena kegiatan mereka, perilaku mereka dalam menggunakan internet sudah mendekati angka 24 jam sehari. Perilaku Netizen ini juga berbeda dengan Citizen, cara mereka berkomunikasi sangat horisontal, karena internet menjadikan semuanya serba horisontal, salah satu medium yang membuat hubungan antara orang menjadi horisontal adalah Twitter, dimana kita bisa langsung berkomunikasi dengan siapa saja, bahkan belum pernah bertatap muka juga tidak mengapa, cukup follow, sah hi, kemudian saling berkontak.

Pak Hermawan juga menjelaskan, meski horisontal bisa memberikan dampak positif, banyak juga dampa negatif dari medium yang membuat semua serba horisontal ini, karena media sosial, terutama Twitter merupakan barang baru, maka publik kadang tidak mengerti mana yang menjadi ranah publik mana yang termasuk wilayah pribadi. 

Hal ini akan berpengaruh pada para pemasar yang ingin masuk ke dunia para Netizen ini, para brand manager yang bukan atau tidak mengetahui bagaaimana para Netizen ini berperilaku bisa kerepotan. 

Berikut beberapa poin penting tentang bagaimana para merketer bisa memahami para Netizen:
  • Jangan anggap Netizen itu anak-anak nganggur, mereka berpengaruh sangat relevan atas kehidupan brand.
  • Hukum intenernet beda dengan legacy marketing yang vertikal, semua pemilik brand harus tahu cara dalam memasuki dunia internet dengan para Netizen sebagai penduduk ‘negara’ internet.
  • Cara yang digunakan harus seusai dengan kultur yang dimilki Netizen.
  • Salah cara malah bisa babak belur, kerena komunikasi yang terjadi sangat horisontal dan langsung.
  • Dunia baru ini diisi oleh Netizen yang memang menjadi generasi digital native.
  • Legacy marketing is brain decision, Netizen era is emotional decision.
  • Netizen itu jujur, malah karang terkadang terlalu jujur, jadi kadang-kadang tidak terbendung, apa saja langsung mereka katakan di internet, tidak pake topeng.

Untuk penjelasan tentang apa itu Netizen, Pak Hermawan merujuk pada Michael Hauben, yang mempopulerkan intilah ini untuk merujuk pada para penduduk yang hidupnya di internet dan punya berbagai kekhususan sendiri dari perilaku mereka. 


Akhirnya Pak Hermawan memperlihatkan beberapa screenshot dari tabel hasil riset MarkPlus. Pada awalnya saya pribadi merasa sangsi dengan hasil riset ini, karena hanya mengambil 1500 responden dari berbagai kota, yang menurut saya masih terlalu sedikit, namun ternyata riset ini dilakukan dengan dua metode: riset primer menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kualitatif melalui focus groups discussion sebanyak 4 grup yang terdiri dari anak sekolah SMA, anak kuliah dan baru kerja, pegiat dan influencer social media, serta pengguna e-commerce

Sedangkan pendekatan kedua menggunakan riset kuantitatif melalui survei terhadap 1.500 responden dari 8 kota besar Indonesia, Medan, Palembang, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, dan Makassar. 

Beberapa hasil riset tersebut antara lain:
  • 1 dari 3 keluarga urban punya koneksi internet.
  • 8 dari 10 mengakses internet dari ponsel.
  • 200 ponsel beredar di indonesia.
  • 9 dari 10 pengguna internet indonesia menggunakan Facebook dan 1 dari 5 menggunakan Twitter.



Akhirnya, dari riset tersebut menyimpulan bahwa ada 9 tipe pengguna internet di indonesia yaitu, NetTerrorist, NetPublisher, NetAdvocate, NetStriver, NetWorker, NetJunkie, NetAvoider, NetCrawler, NetRookie.

Acara The Marketeers Dinner Seminar ditutup dengan pemberian semacam piagam kepada beberapa pihak yang aktif menggunakan internet yaitu para Netizen dari Bandung, ada banyak yang mendapatkan piagam tersebut, beberapa diantaranya Kaskus, komunitas Batagor dan beberapa orang lain termasuk blogger yaitu Fikri Rasyid dan saya sendiri.

Beberapa hal lain yang belum di tulis di post ini akan saya bahas di tulisan yang berikutnya, terutama tentang temuan riset dari MarkPlus, yang sumber tambahannya saya dapatkan dari majalah Marketeers, edisi November 2010.
Event Review: The Marketeers Dinner Seminar BandungSocialTwist Tell-a-Friend

Kamis, 07 Oktober 2010

Kenapa Bentuk Forum Sukses di Indonesia

Berbagai bentuk media sosial 'kuno' seperti forum ternyata masih berjaya di Indonesia, bahkan beberapa layanan sejakn jaman web 2.0 juga masih tetap mengadopsi bentuk seperti ini. Salah satu alasan yang bisa didapatkan adalah karena peminatnya yang tetap banyak dan interaksi yang terjadi di media sosial ‘kuno’ ini yang cukup intens.

Lalu mengapa bentuk forum, mailling list dan berbagai sosisl media dengan sistem user generated content masih berjaya di tingkat lokal dan masih bisa menyedot pengguna yang cukup banyak?.

Kalau melihat buku Yuswohady, yang berjudul, Crowd, terbitan Gramedia tahun 2008, setidaknya ada beberapa unsur dari forum yang bisa membuatnya menjadi salah satu bentuk klasik sosial media yang masih bertahan sampai sekarang, beberapa unsur tersebut antara lain adalah interaksi, tempat mencurahkan aspirasi dan ekspresi, dan membantu orang lain.

Orang Indonesia, meski kini sering dikategorikan tidak ramah, namun pada dasarnya memang orang yang senang gotong-royong dan saling berbagi, oleh karenanya mereka senang berinteraksi satu sama lain. Di dalam forum, kegiatan tukar pendapat, obrolan, serta interaksi antar anggotanya sangatlah intens dan berlangsung terus menerus.

Entah itu proses saling kritik, saling puji atau saling berdebat, kesemuanya menghasilkan interaksi di dalam forum, yang biasanya berlangsung seru, apalagi jika didukung oleh sebuah topik memang diminati oleh angota forum.

Karena orang Indonesia suka mengobrol dan mencurahkan pendapatnya, maka orang Indonesia bisa dikategorikan sebagai masyarakat yang senang mencurahkan aspirasi, mengeluarkan pendapat, ngomel, ngedumel, berkeluh kesah atau memberi pujian berlebih dan semua kegiatan mencurahkan aspirasi ini ternyata bisa ditampung oleh forum, mailling list serta layanan berbasis user generated content.

Orang Indonesia yang cerewet dan suka berbicara ini numplek jadi satu dan saling berinteraksi di forum.

Satu lagi karakter orang Indonesia adalah mereka suka menolong. Kalau dulu kita terkenal suka menolong di dunia nyata, mungkin kini semuanya bergeser di dunia maya.

Kalau tidak percaya Anda bisa bergabung dengan forum atau mailling list yang memang bertujuan untuk berbagai ilmu atau mengembangkan aplikasi tertentu. Sekali Anda berkenalan dan bertanya disana, jangan kaget kalau tiba-tiba Anda akan punya teman baru yang bersedia membantu Anda untuk memberikan saran, memberikan tutorial untuk aplikasi tertentu atau sekedar memberi ide.

Di forum proses tolong menolong ini bisa lebih intens, karena selain ditempat ‘terbuka’, Anda juga bisa menigirimkan pesan pribadi pada anggota lain dan bisa membangun percakapan yang lebih private serta berkelanjutan.

Karakter pengguna Indonesia memang unik, penetrasi perangkat bergerak membuat peluang yang sangat besar bagi bergagai hal yang memungkinkan dihantarkan oleh medium bernama internet, jika dulu televisi berjaya, hari ini dan beberapa waktu kedepan, internet yang akan berjaya dan masuk dalam hati dan pikiran konsumen.

Dengan medium internet, forum, mailling list serta layanan user generated content akan memberi saluran bagi berbagai jenis karakter pengguna internet untuk bisa tumplek dalam sebuah tempat khusus, dimana semua orang diterima secara sama serta memungkinkan untuk saling berinteraksi.

Ini juga menjawab berbagai keraguan bahwa meskipun bentuk forum dan mailling list sudah merupakan bentuk klasik dari perkembangan sosial media, namun untuk kasus Indonesia, bentuk seperti ini masih bisa bertahan beberapa tahun kedepan sebelum digantikan dengan bentuk yang lebih baru atau masih dalam bentuk lama namun mendapatkan penyegaran fitur yang sesuai dengan perkembangan internet masa kini.


Sumber gambar diambil dari MCW
Kenapa Bentuk Forum Sukses di IndonesiaSocialTwist Tell-a-Friend

creative commons

Creative Commons License
socialnomic by wiku baskoro is licensed under a Creative Commons Attribution-Noncommercial-Share Alike 3.0 Unported License.
Based on a work at socialnomic.blogspot.com.
Permissions beyond the scope of this license may be available at wikubaskoro@gmail.com.